KATA PENGANTAR
Segala puji
hanya milik Allah SWT.
Shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat
limpahan dan rahmat-Nya
penyusun mampu menyelesaikan
tugas makalah ini guna memenuhi
tugas mata kuliah Agama Islam.
Agama sebagai sistem
kepercayaan dalam kehidupan
umat manusia dapat
dikaji melalui berbagai
sudut pandang. Islam
sebagai agama yang
telah berkembang selama
empat belas abad
lebih menyimpan banyak
masalah yang perlu
diteliti, baik itu
menyangkut ajaran dan
pemikiran keagamaan maupun realitas
sosial, politik, ekonomi
dan budaya.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit
hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam
penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang
tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalahini disusun agar
pembaca dapat memperluas ilmu tentang islam dan tasawuf, yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas
Gunadarma. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jau dari
sempurna. Untuk itu, kepada dosen
pembimbing saya meminta
masukannya demi perbaikan
pembuatan makalah saya
di masa yang
akan datang dan mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca.
Bogor, 23 Oktober 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Al-qur’an merupakan kitab Allah yang
di dalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik aqidah, syari’ah
maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat
yang termaktub dalam al-qur’an. Ayat-ayat al-qur’an itu, di satu sisi memang
ada yang perlu dipahami secara tekstual-lahiriyah, tetapi di sisi lain juga ada
hal yang perlu dipahami secara kontekstual-rohaniyah. Sebab, jika ayat-ayat
al-qur’an dipahami secara lahiriyah saja, akan terasa kaku, kurang dinamis, dan
tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara
psikis.
Secara umum, ajaran Islam mengatur kehidupan
yang bersifat lahiriyah dan batiniyah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang
bersifat batiniyah pada gilirannya melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf
ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-qur’an dan
sunnah, serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya.
Dalam sejarah perkembangannya, para
ahli membagi tasawuf menjadi dua arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah
pada teori-teori prilaku, ada pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang
begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Pada
perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut
sebagai tasawuf salafi, tasawuf akhlaqi, atau tasawuf sunni.
Adapun tasawuf yang berorientasikan ke arah kedua disebut sebagai tasawuf
falsafi. Tasawuf jenis kedua banyak dikembangkan para sufi yang berlatar
belakang sebagai filosof , disamping sebagai sufi.
I.2 Rumusah Masalah
1. Pengertian Tasawuf
2. Sejarah Munculnya Tasawuf
3. Pandangan Ummat Islam Terhadap Tasawuf
I.3 Pembahasan
A. Pengertian Tasawuf
Dari segi bahasa tasawuf berarti sikap mental yang
selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorbann
untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada
hakikatnya adalah akhlak yang mulia
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau
pendapat para ahli amat bergantung pada sudut pandang yang digunakan
masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk
mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas,
manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhlauk yang
ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut pandang sebagai makhluk yang terbatas,
maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara
menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan hanya memusatkan perhatian kepada
Alloh SWT.
Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan
manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat diartikan
sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama
dalam rangka mendekatkan diri kepada Alloh SWT. Dan jika sudut pandang yang
digunakan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat diartikan
sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang dapat megarahkan jiwa agar tertuju
kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika tiga definisi tasawuf tersebut di atas satu dan
lainnya dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya
melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri dari pengaruh
kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Alloh
SWT. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan
mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah hakikat tasawuf.
Terdapat 4 (empat)
aliran tasawuf, yaitu:
1. Qadiriyah,
aliran ini memuliakan pendirinya Abdul Qadir al- Jailani (116 M). Menurut para
pengikutnya, Abdul Qadir al-Jailani adalah orang suci. Kini yang menjadi
pemimpin tarikat Qadiriyah adalah juru kunci kuburan Abdul Qadir
al-Jailani di Baghdad. Aliran ini berpengaruh di Afrika Utara, Asia Kecil,
Pakistan, India, Malaysia dan Indonesia.
2. Rifa’iyah,
aliran ini didirikan oleh Muhammad ar-Rifa’i (1183 M). Tarikat Rifa’i terkenal
dengan amalannya berupa penyiksaan diri dengan melukai bagian-bagian badan
dengan senjata tajam diiringi dengan dzikir-dzikir tertentu.
3. Sammaniyah,
aliran ini didirikan oleh Syeikh Muhammad Samman. Riwayat hidup pendiri tarekat
ini sangat terkenal dahuli di Jakarta. Cara mencapai tujuan akhir diantaranya
adalah berdzikir dengan suara lantang.
4. Syattariyah,
aliran ini didirikan oleh Abdullah as-Syattari (1417 M). Aliran ini percaya
pada ajaran kejawen mengenai tujuh tingkat keadaan Allah SWT. yang disebut
dalam ilmu hakikat. Nabi Muhammad SAW. dilambangkan oleh aliran ini sebagai
manusia sempurna (insan kamil) yang memantulkan kekuatan Illahi seperti cermin
memantulkan cahaya. Pada aliran ini juga terdapat kepercayaan bahwa semua
manusia mempunyai bakat untuk menjadi manusia sempurna dan harus berusaha untuk
mencapai kesempurnaan itu. Dalam hubungan ini terdapat pandangan tentang
hubungan manusia dengan Allah SWT. seperti seorang pelayan dengan majikannya.
5. Naqsyabandiyah,
aliran ini didirikan oleh Muhammad an- Naqsyabandi (1388 M). Aliran ini
menyelenggarakan dzikir tertutup atau dzikir diam yakni menyebut nama Allah
SWT. dengan berdiam diri.
B. Sejarah Munculnya Tasawuf
Menurut al-Dzahabi,
istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang
pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu
Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi. Tetapi pendapat lain
menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3
hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia.
Tokoh ini mengembangkan
pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak
diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan
keutamaan dari-Nya.
Adapun tasawuf baginya
adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi suatu
asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Beberapa tokoh lainnya yang
muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al-Muhasibi (w. 243 H) dan
Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).
Di antara tokoh yang
dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858
M), al-Junaid (w. 298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki
(386/996), Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali
(505/1112). Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf
falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani
(525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn
‘Arabi.
Diprediksi bahwa
kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap kemewahan hidup dan
ketidakpastian nilai. Tetapi secara umum tasawuf pada masa awal perkembangannya
mengacu pada tiga alur pemikiran: (1) gagasan tentang kesalehan yang
menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan kemewahan; (2) masuknya
gnostisisme Helenisme yang mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif
di masyarakat; dan (3) masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi
penghormatan pada sikap anti-dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme.
Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf: (1) pembinaan aspek moral; (2)
ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab; dan (3) bahasan tentang sistem
pengenalan dan hubungan kedekatan antara Tuhan dan makhluk. Dekat dalam hal ini
dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya dalam hati, berjumpa dan berdialog
dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan.
Dari segi sejarah,
sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat: (1) sufisme sebagai semangat
atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat muslim; (2) sufisme yang tampak
melekat bersama masyarakat melalui bentuk-bentuk kelembagaan termasuk
tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata
berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga berimbas pada
kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup
sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena
kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu Dzar
al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai bentuk “protes” dari
perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri
kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia.
Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat
al-Baqarah mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka
Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a,
tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada
dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan
menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan
oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu
berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini
mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi
tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa
dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu
apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia
daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini
menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri
manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui
dirinya mengetahui Tuhannya."
C. Pandangan
Ummat Islam Terhadap Tasawuf
Mengenai asal-usul perkataan tasawuf para ahli berbeda pendapat.
Di antara pendapat yang banyak itu, ada satu pendapat yang sering ditulis dalam
buku-buku mengenai tasawuf di Indonesia. Pendapat itu mengatakan tasawuf
berasal dari kata suf artinya bulu domba kasar. Disebut demikian karena
orang-orang yang memakai pakaian itu disebut orang-orang sufi atau mutasawwif,
hidup dalam kemiskinan dan kesederhanaan.
Mereka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai
lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian yang terbuat
dari sutera yang biasa dipakai oleh orang-orang kaya. Banyak juga definisi yang
diberikan untuk merumuskan makna yang dikandung oleh perkataan tasawuf.
Menurut at-Taftazani, tasawuf mempunyai 5 (lima) ciri, yaitu :
1. Memiliki nilai-nilai moral.
2. Pemenuhan fana (sirna, lenyap) dalam realitas mutlak.
3. Pengetahuan intuitif (berdasarkan bisikan hati) langsung.
4. Timbulnya rasa
kebahagiaan sebagai karunia Allah SWT. dalam diri sufi karena tercapainya maqamat (beberapa tingkatan
perhentian) dalam perjalanan sufi menuju (mendekati) Tuhan.
5. Penggunaan lambang-lambang pengungkapan (perasaan) yang
biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat. (Ensiklopedi Islam, 1933:
73 – 75)
Tasawuf juga berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, dapat dilihat
ayat-ayat dan hadits-hadits yang menggambarkan dekatnya manusia dengan Allah
SWT. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. QS. Al-Baqarah ayat
115 artinya :
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi
Maha Mengetahui”.
2. QS. Qaf ayat 16
artinya :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang dibisikan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat
lehernya”.
3. Hadits Riwayat Imam
Bukhari, artinya :
“Barang siapa memusuhi seseorang wali-Ku
(wali Allah SWT. adalah orang yang dekat dengan-Nya), maka aku mengumumkan
permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku
yang lebih Kusukai dari pengalaman segala yang Kuwajibkan atasnya. Kemudian,
hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan
amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya. Bila Aku telah cinta
kepadanya, Akulah pendengarnya dengan ia mendengar, Aku penglihatannya
dengannya ia melihat, Aku tangannya dengannya ia memukul, dan Aku kakinya
dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-KuAku perkenankan permohonannya,
jika ia meminta perlindungan, Kulindungi ia”.
Sejak muncul paham widhatul wujud,
tasawuf pecah menjadi dua aliran, yaitu aliran pertama, aliran tasawuf yang
didasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan aliran yang kedua, aliran fana
yang disebut sebagai tasawuf falsafi, disebut demikian karena teori-teori yang
dikemukakannya banyak mengandung unsur-unsur filsafat (Ensiklopedi Islam, 1992:
76 -77, 158 – 160).
Selain itu
terdapat pula hadis-hadis qauliyah yang menjadi bagian dari dasar-dasar ajaran
tasawuf dalam Islam, diantara hadis-hadis tersebut adalah:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ
أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي
أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
Artinya:
Dari sahabat Sahal bin Saad as-Sa’idy beliau berkata: datang seseorang
kepada Rasulullah Saw dan berkata: ‘Wahai Rasulullah ! tunjukkanlah kepadaku
sutu amalan, jika aku mengerjakannya maka Allah akan mencintaiku dan juga
manusia’, Rasulullah Saw bersabda: “berlaku zuhudalah kamu di dunia, maka Allah
akan mencintaimu, dan berlaku zuhudlah kamu atas segala apa yang dimiliki oleh
manusia, maka mereka (manusia) akan mencintaimu”.[1]
عَن زَيْدُ بْنُ ثَابِت قال : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ
وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ
لَهُ وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ
فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
Artinya:
Dari Zaid bin Tsabit beliau berkata : Aku mendengarkan Rasulullah Saw
bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan
berlepas diri dari segala urusannya dan tidaklah ia mendapatkan dari dunia
sesuatu apapun keculi apa yang telah di tetapkan baginya. Dan barang siapa yang
sangat menjadikan akhirat sebaga tujuannya, maka Allah akan mengumpulkan
seluruh harta kekayaan baginya, dan menjadikan kekayaan itu dalam hatinya,
serta mendapatkan dunia sedang ia dalam keadaan tertindas”.[2]
Hadis pertama menunjukkan perintah untuk senantiasa berlaku zuhud di dunia,
sementara hadis kedua menjelaskan akan tercelanya kehidupan yang bertujuan
berorientasi keduniaan belaka, dan mulianya kehidupan yang berorientasi
akhirat. Kedua hadis tersebut menjelaskan kemuliaan orang-orang yang hanya
menjadikan Allah sebagai tujuan utama dalam hidupnya dan merasa cukup atas
segala yang Allah telah karunianakan kepadanya.
Selain dari kedua hadis di atas terdapat pula banyak hadis yang memberikan
wasiat kepada orang-orang mu’min agar tidak bertumpu pada kehidupan dunia
semata, dan hendaklah ia senantiasa memangkas segala angan-angan keduniaan,
serta tidak mematrikan dalam dirinya untuk hidup kekal di dunia dan tidak pula
berusaha untuk memperkaya diri di dalamnya kecuali sesuai dengan apa yang ia
butuhkan, oleh karena itu Rasulullah Saw berwasiat kepada Abdullah bin Umar
sambil menepuk pundaknya dan bersabda:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيل
Artinya:
“Hiduplah kamu di dunia seolah-seolah kamu adalh orang asing atau seorang
musafir”[3]
Selain tiga hadis di atas masih terdapat banyak hadis lainnya yang menjadi
landasan munculnya tasawuf atau sufisme.
Tokoh –tokoh yang
memengaruhi tasawuf di Indonesia yaitu: