Sabtu, 10 Januari 2015

SUKU-SUKU PEDALAM INDONESIA



SUKU-SUKU PEDALAM INDONESIA

1. Suku Polahi, Gorontalo

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVvFq76VsU3fy9rrogD69Pljmqixas6_IBN7KiA5sO_-5EmI6taD39-NtYeKGMfGh5HSGa58qkc0rA43skn5lbwRKnz3LipWwfIpmjWUkkR3koXricY0VYcnqrJXDY2qHqa3k4JRzgapM/s1600/Suku+Polahi,+Gorontalo+(1).jpgimages.jpg

Di pedalaman hutan Boliyohato, Gorontalo hidup beberapa kelompok masyarakat nomaden yang lebih di kenal dengan sebutan Suku Polahi. Suku Polahi ini bahkan jauh lebih tertinggal daripada suku suku yang masih dianggap primitive lainnya di Indonesia. Rata rata suku primitive yang lain setidaknya sudah mulai hidup menetap dan mulai terbuka dengan kehidupan luar. Suku Polahi ini memiliki pola hidup berpindah pindah (Nomaden) dari satu hutan ke hutan yang lain. Mereka juga belum mengenal pakaian, agama bahkan mereka juga tak mengenal hari.

2. Suku Sakai, Kab.Siak, Pekanbaru

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGbAYw6j52SkTzc7B0u8VCqsAJzUY4Uo-bBXkfgI6oSX24p7hayEDg-IwD_bJNUrsygamqGDalY_OYhaBRhindbjPjdkx9L23_AUyRWsrunYVp4VGi51w7mJvbKhQebuP0M7SAOEkvfqY/s1600/Suku+Sakai,+Kab.Siak,+Pekanbaru.jpgimages (1).jpg

Suku Sakai adalah komunitas asli/pedalaman yang hidup di daratan Riau. Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan.  Orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri Pagaruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagaruyung sangat padat penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya sampai di tepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai.


3. Suku Dani, Pegunungan Tengah, Papua

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjosUmRSk0ni7wLsjn4RdTKDMqB7tuFkR39IcGO8hrKQJGbADRXStCw-bcXlXo-JvXXkZhAFTs5ShxMj__q8CLyp5LHel4jCnm2I9TkBdZ3HQ17pKKREMKqhNK2BMKmqawcVIfsR1rCPGI/s1600/Suku+Dani,+Pegunungan+Tengah,+Papua.jpgimages (2).jpg

Suku Dani adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Pegunungan Tengah, Papua, Indonesia. Dan mendiami keseluruhan Kabupaten Jayawijaya. Suku-suku lain yang terdapat di daerah ini antara lain Yali dan Lani. Suku Yali adalah salah satu suku yang mendiami bagian selatan di antara perbatasan Wamena dan Merauke, sedangkan suku Lani mendiami bagian sebelah barat dari suku Dani. Ketiga suku ini memiliki ciri khas masing-masing baik dari segi budaya, adat istiadat, dan bahasa.












download (1).jpgdownload.jpg images (3).jpg
4. Suku Korowai 
adalah suku yang baru ditemukan keberadannya sekitar 30 tahun yang lalu di pedalaman Papua, dengan Populasi sekitar 3000 orang, dan hingga kini menjadi suku yang jauh dari kehidupan modern, suku Korowai hidup di rumah yanh dibangun di atas pohon atau biasa di sebut di rumah pohon, beberapa di antara rumah yang lain bahkan mencapai ketinggian 80 meter di atas permukaan tanah. Suku korowai adalah salah satu suku di daratan Papua Indonesia yang bisa di jumpai di wilayah perbatasan Indonesia - Papua New Guine.

Hingga tahun 1970, suku korowai tidak pernah mengetahui setiap orang lain selain dari kelompok mereka sendiri. Rumah Pohon yang mereka bangun dengan menggunakan kayu yang di ambil dari hutan sekitar tempat mereka hidup dan alat yang mereka gunakan masih berupa kapak yang terbuat dari batu, Rumah suku Korowai dengan tinggi 80 meter di atas permukaan tanah ini dapat melindungi diri mereka dari panas dan serangga yang ada di hutan tempat bermukim yang masih tergolong hutan belantara, juga melindungi dari bahaya bajir ketika musim hujan, selain itu juga rumah ini memiliki fungsi sebagai benteng ketika terjadi konflik antar suku yang tidak mereka inginkan.


Bahasa yang di gunakan suku korowai termasuk dalam keluarga Awyu-Dumut (Papua tenggara) dan merupakan bagian dari filum Trans-Nugini. Sebuah tata bahasa dan kamus telah diproduksi oleh ahli bahasa misionaris Belanda. Mayoritas klan Korowai tinggal di rumah pohon di wilayah terisolasi mereka. Sejak tahun 1980 sebagian telah pindah ke desa-desa yang baru dibuka dari Yaniruma di tepi Sungai Becking (area Kombai-Korowai), Mu, dan Basman (daerah Korowai-Citak). Pada tahun 1987, desa dibuka di Manggél, di Yafufla (1988), Mabül di tepi Sungai Eilanden (1989), dan Khaiflambolüp (1998).

Babi dalam Masyarakat Suku Korowai digunakan dalam penyelesaian sengketa-antara keluarga, dan juga dikorbankan dalam kompleks ketika upacara dengan membiarkan darah mereka ke dalam sungai sebagai korban ke salah satu dewa. Babi berperan dalam kehidupan agama Korowai juga yang diisi dengan semua jenis roh - di atas semua roh leluhur mereka yang dikorbankan adalah binatang pada saat kesulitan. Pesta adat yang lebih baik dinikmati oleh Korowai dan Kombai adalah makan dari Sagu, makanan lain yang lezat adalah tempayak dari kumbang, yang merupakan hasil panenan dari pohon sagu. 

Kisah suku Korowai pernah di jadikan sebagai film petualangan dan Tradisi unik yang di miliki Suku Korowai ini telah menjadi daya tarik wisatawan asing untuk berkunjung.
5. SUKU BADUI, JAWA BARAT
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.
Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
  • Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
  • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
  • Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
  • Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
  • Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar