SUKU-SUKU PEDALAM INDONESIA
1.
Suku Polahi, Gorontalo
Di pedalaman hutan Boliyohato, Gorontalo hidup beberapa kelompok
masyarakat nomaden yang lebih di kenal dengan sebutan Suku Polahi. Suku Polahi
ini bahkan jauh lebih tertinggal daripada suku suku yang masih dianggap
primitive lainnya di Indonesia. Rata rata suku primitive yang lain setidaknya
sudah mulai hidup menetap dan mulai terbuka dengan kehidupan luar. Suku Polahi
ini memiliki pola hidup berpindah pindah (Nomaden) dari satu hutan ke hutan
yang lain. Mereka juga belum mengenal pakaian, agama bahkan mereka juga tak
mengenal hari.
2. Suku Sakai, Kab.Siak, Pekanbaru
Suku Sakai adalah komunitas asli/pedalaman yang hidup di daratan
Riau. Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup
berpindah-pindah di hutan. Orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk
Negeri Pagaruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah
timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagaruyung sangat padat penduduknya.
Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian
mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan
hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Setelah
menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya sampai di tepi Sungai
Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah
tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai itu layak
dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian disebut
sebagai orang-orang Sakai.
3. Suku Dani, Pegunungan Tengah,
Papua
Suku Dani adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di
Pegunungan Tengah, Papua, Indonesia. Dan mendiami keseluruhan Kabupaten
Jayawijaya. Suku-suku lain yang terdapat di daerah ini antara lain Yali dan
Lani. Suku Yali adalah salah satu suku yang mendiami bagian selatan di antara
perbatasan Wamena dan Merauke, sedangkan suku Lani mendiami bagian sebelah
barat dari suku Dani. Ketiga suku ini memiliki ciri khas masing-masing baik
dari segi budaya, adat istiadat, dan bahasa.
4. Suku Korowai
adalah suku yang baru
ditemukan keberadannya sekitar 30 tahun yang lalu di pedalaman Papua, dengan
Populasi sekitar 3000 orang, dan hingga kini menjadi suku yang jauh dari
kehidupan modern, suku Korowai hidup di rumah yanh dibangun di atas pohon atau
biasa di sebut di rumah pohon, beberapa di antara rumah yang lain bahkan
mencapai ketinggian 80 meter di atas permukaan tanah. Suku korowai adalah salah
satu suku di daratan Papua Indonesia yang bisa di jumpai di wilayah perbatasan
Indonesia - Papua New Guine.
Hingga tahun 1970, suku korowai tidak pernah mengetahui setiap orang lain selain dari kelompok mereka sendiri. Rumah Pohon yang mereka bangun dengan menggunakan kayu yang di ambil dari hutan sekitar tempat mereka hidup dan alat yang mereka gunakan masih berupa kapak yang terbuat dari batu, Rumah suku Korowai dengan tinggi 80 meter di atas permukaan tanah ini dapat melindungi diri mereka dari panas dan serangga yang ada di hutan tempat bermukim yang masih tergolong hutan belantara, juga melindungi dari bahaya bajir ketika musim hujan, selain itu juga rumah ini memiliki fungsi sebagai benteng ketika terjadi konflik antar suku yang tidak mereka inginkan.
Bahasa yang di gunakan suku korowai termasuk dalam keluarga Awyu-Dumut (Papua tenggara) dan merupakan bagian dari filum Trans-Nugini. Sebuah tata bahasa dan kamus telah diproduksi oleh ahli bahasa misionaris Belanda. Mayoritas klan Korowai tinggal di rumah pohon di wilayah terisolasi mereka. Sejak tahun 1980 sebagian telah pindah ke desa-desa yang baru dibuka dari Yaniruma di tepi Sungai Becking (area Kombai-Korowai), Mu, dan Basman (daerah Korowai-Citak). Pada tahun 1987, desa dibuka di Manggél, di Yafufla (1988), Mabül di tepi Sungai Eilanden (1989), dan Khaiflambolüp (1998).
Babi dalam Masyarakat Suku Korowai digunakan dalam penyelesaian sengketa-antara keluarga, dan juga dikorbankan dalam kompleks ketika upacara dengan membiarkan darah mereka ke dalam sungai sebagai korban ke salah satu dewa. Babi berperan dalam kehidupan agama Korowai juga yang diisi dengan semua jenis roh - di atas semua roh leluhur mereka yang dikorbankan adalah binatang pada saat kesulitan. Pesta adat yang lebih baik dinikmati oleh Korowai dan Kombai adalah makan dari Sagu, makanan lain yang lezat adalah tempayak dari kumbang, yang merupakan hasil panenan dari pohon sagu.
Kisah suku Korowai pernah di jadikan sebagai film petualangan dan Tradisi unik yang di miliki Suku Korowai ini telah menjadi daya tarik wisatawan asing untuk berkunjung.
Hingga tahun 1970, suku korowai tidak pernah mengetahui setiap orang lain selain dari kelompok mereka sendiri. Rumah Pohon yang mereka bangun dengan menggunakan kayu yang di ambil dari hutan sekitar tempat mereka hidup dan alat yang mereka gunakan masih berupa kapak yang terbuat dari batu, Rumah suku Korowai dengan tinggi 80 meter di atas permukaan tanah ini dapat melindungi diri mereka dari panas dan serangga yang ada di hutan tempat bermukim yang masih tergolong hutan belantara, juga melindungi dari bahaya bajir ketika musim hujan, selain itu juga rumah ini memiliki fungsi sebagai benteng ketika terjadi konflik antar suku yang tidak mereka inginkan.
Bahasa yang di gunakan suku korowai termasuk dalam keluarga Awyu-Dumut (Papua tenggara) dan merupakan bagian dari filum Trans-Nugini. Sebuah tata bahasa dan kamus telah diproduksi oleh ahli bahasa misionaris Belanda. Mayoritas klan Korowai tinggal di rumah pohon di wilayah terisolasi mereka. Sejak tahun 1980 sebagian telah pindah ke desa-desa yang baru dibuka dari Yaniruma di tepi Sungai Becking (area Kombai-Korowai), Mu, dan Basman (daerah Korowai-Citak). Pada tahun 1987, desa dibuka di Manggél, di Yafufla (1988), Mabül di tepi Sungai Eilanden (1989), dan Khaiflambolüp (1998).
Babi dalam Masyarakat Suku Korowai digunakan dalam penyelesaian sengketa-antara keluarga, dan juga dikorbankan dalam kompleks ketika upacara dengan membiarkan darah mereka ke dalam sungai sebagai korban ke salah satu dewa. Babi berperan dalam kehidupan agama Korowai juga yang diisi dengan semua jenis roh - di atas semua roh leluhur mereka yang dikorbankan adalah binatang pada saat kesulitan. Pesta adat yang lebih baik dinikmati oleh Korowai dan Kombai adalah makan dari Sagu, makanan lain yang lezat adalah tempayak dari kumbang, yang merupakan hasil panenan dari pohon sagu.
Kisah suku Korowai pernah di jadikan sebagai film petualangan dan Tradisi unik yang di miliki Suku Korowai ini telah menjadi daya tarik wisatawan asing untuk berkunjung.
5. SUKU BADUI, JAWA BARAT
Orang Kanekes
atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat
sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000
orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi
dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu
untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.
Orang Kanekes memiliki hubungan
sejarah dengan orang Sunda.
Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya.
Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes
menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup
mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh
asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi
menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka
(Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah
kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam
(Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di
tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam
adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala
putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari
keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam
masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh
suku Kanekes Dalam antara lain:
- Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
- Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
- Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
- Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
- Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar